Polisi Tangkap 183 Holigans
Rabu, 13 Juni 2012 18:13 wib
Keributan fans di Warsawa. (Foto: Reuters)
Ya, kerusuhan antara fans terjadi ketika Polandia bermain 1-1 melawan Rusia di Stadion Norowady, Warsawa, dini hari tadi WIB. Perlu diketahui, kedua Negara memang memiliki sejarah yang cukup buruk.
Sebelum pertandingan, ribuan fans Rusia berjalan di Poniatowski Bridge untuk merayakan hari Rusia. Namun, fans Rusia mendapatkan aksi provokasi dari fans, yang diberitakan sebagai fans Polandia.
Praktis, keributan tidak terabaikan lagi. Bahkan, keributan berlanjut di Fanzone tepatnya di Plac Defilad Square. Pihak kepolisian terpaksa melepaskan water canon dan menembakkan peluru kosong untuk membubarkan keributan.
KPK: Neneng Sudah Ditangkap
Rabu, 13 Juni 2012 16:06 wib
Neneng (Foto: Heru H/okezone)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil menangkap istri Muhammad Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni. Pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, mengatakan tersangka kasus korupsi pembangunan pembangikit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu memang sudah ditangkap.
“Iya, Neneng sudah ditangkap,” kata Busyro dalam pesan singkatnya, Rabu (13/6/2012).
Neneng diketahui menjadi buron tiga bulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Dia kabur ke Singapura pada 23 Mei 2011 bersama suaminya. Juru bicara KPK Johan Budi, mengatakan Neneng memang sudah ditangkap lembaganya. “Iya, tapi saya belum bisa kasih penjelasan lebih detail dulu,” katanya saat dihubungi.
Pengacara Neneng, Junimart Girsang, juga membenarkan kliennya sudah berhasil ditangkap KPK. Namun, dia menegaskan kliennya memang bersengaja menyerahkan diri. “Dia menyerahkan diri di Pejaten, hari ini. Di rumahnya,” kata Junimart Girsang.
Mengukur Validitas Presiden Polling
survei yang dikeluarkan salah satu lembaga Riset DCSC Indonesia (foto:Runi Sari/okezone)
PEMILU 2014 masih menyisakan tiga tahun lagi, namun ‘perang survei’ sudah dimulai. Ramai-ramai lembaga survei unjuk kebolehan menentukan siapa jagoan yang akan memimpin negara ini di masa mendatang.
Tentu, bukan karena pendapat pribadi atau menebak-nebak atas dasar suka dan kebencian. Calon presiden pilihan adalah keinginan rakyat yang dirajut berdasarkan hasil polling lembaga survei.
Polling yang dilakukan bukan tanpa alasan. Adalah fakta dan realistis, jelang pemilu dan diikuti pilpres, menjadikan polling ini sebagai barometer keberhasilan partai politik dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres 2014.
Namun, polling yang dilakukan bukan juga untuk membuat publik terjebak. Keabsahan, kebenaran dan independensi sebuah lembaga survei harus menjadi perhatian.
Apalagi, sudah menjadi rahasia umum kalau ada survei yang berdasarkan pesanan. Akibatnya cenderung mengakomodir kepentingan dan keinginan pihak pemesan.
Makanya, tidak heran bila hasil lembaga survei satu dan lainnya bervariasi. Bila hasil polling positif akan diterima dengan senang hati oleh sebagian kalangan. Sebaliknya bila itu negatif, bisa saja akan ada polling tandingan yang dilakukan sebagai bahan masukan dan pelajaran.
Belum lama ini, Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) mengeluarkan survei mengejutkan.
Nama Presiden RI ke-4 Megawati Soekarnoputri melambung tinggi. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, masih dianggap sebagai figur yang paling dikenal masyarakat dibandingkan tokoh politik lainnya dengan meraup sekira 91,6 persen.
Bahkan, bila pemilu digelar saat ini, CSIS berpendapat, Megawati adalah pemenang pemilihan presiden kali ini.
Berbeda ketika Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Kuskridho Ambardi, pada Januari 2012 merilis survei tokoh yang layak maju di capres 2014.
Nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menempati angka tertinggi sebagai tokoh yang layak untuk memimpin negara, yakni sebanyak 45 persen, kendati SBY tidak memiliki kesempatan kembali untuk mencalonkan diri di pemilu 2014.
CSIS juga menempatkan Partai Demokrat sebagai partai paling banyak mendapat dukungan masyarakat, meskipun dukungannya merosot 8,25 persen, urutan kedua ditempat Partai Golkar.
Sementara survei LSI menunjukkan Partai Golkar berada diurutan atas dengan perolehan 15,5 persen, menggeser posisi Demokrat 13,6 persen. Demokrat mengalami penurunan sebesar tujuh persen.
Adalah lumrah ketika lembaga survei menghasilkan analisa berbeda. Dengan perbedaan itu, apakah publik bisa menjadikan survei ini sebagai acuan?
Tentu saja tidak 100 persen demikian, menurut Ketua Departeman Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips J. Vermote, fenomena jelang pemilu ini biasa di Indonesia.
Terlebih, saat ini Indonesia sedang memasuki era dinamisasi pendapat umum melalui polling yang dapat mempengaruhi sebuah kebijakan politik dan pengambilan keputusan bagi publik.
Harga Sesuai Pesanan
Sehingga, upaya polling dengan melakukan berbagai cara guna menarik simpati publik kerap dilakukan. Termasuk survei pesanan yang dilakukan partai politik dan juga tokoh sebagai acuan untuk menentukan strategi pemenangan.
Bagi Philips, itu adalah biasa dan tidak ada masalah bila lembaga survei didanai parpol tertentu, sepanjang itu dilakukan dengan kaidah-kaidah statistik yang benar, didasarkan atas temuan ilmiah, metodologinya juga bisa dipertanggung jawabkan dan yang tak kalah penting independensinya.
Apalagi survei itu membutuhkan dana operasional tidak sedikit. “Ratusan juta pastinya”, kata Philips J. Vermote tanpa menyebut angka pasti, saat berbincang-bincang dengan okezone.
Mantan Direktur Lingkaran Survei Indonesia Denny JA mengatakan, adanya lembaga survei yang bisa dipesan oleh sekelompok tertentu, itu tergantung trak record lembaganya.
“Kalau baru muncul 3, 6 bulan, atau kemarin itu belum teruji dan sangat mungkin,” kata Denny kepada okezone beberapa waktu lalu.
Denny memang tidak menampik, saat ini ada banyak lembaga survei yang memiliki reputasi yang baik dan buruk, teruji dan belum teruji. Jadi tidak bisa diseragamkan.
Sementara, M. Qodari dari lembaga survei IndoBarometer juga tidak menampik, survei yang kerap dilakukannya tidak terlepas dari pesanan partai politik. Meski ada juga survei internal berdasarkan situasi kondisi terkini.
Untuk survei pesanan, M. Qodari memasang tarif beragam ada yang murah, juga mahal, itu tergantung dari situasi dan kondisi, wilayah, tingkat kesulitan juga faktor geografis. “Kalau perkotaan itu murah, tidak sampai ratusan juta, kalau nasional itu mahal hingga ratusan juta,” jelas M.Qodari.
Sementara, sumber okezone menyebut, survei yang pernah dilakukan pada 2009, untuk tingkat nasional biaya untuk satu kali survei Rp300-500juta, untuk lokal dan perkotaan Rp70-100 juta. “Tapi itu bisa ditawar-tawar lagi kok,” jelas sumber itu.
Gun Gun Heriyanto pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menegaskan, seharusnya survei yang diselenggarakan berbagai lembaga untuk mengukur popularitas seorang tokoh menjadi Capres harus mencerminkan realitas aspirasi publik. Survei Capres tak boleh berupa pesanan karena merusak demokrasi.
“Namun, pada kenyataannya intevensi atau pesanan sangat mungkin, sebuah riset oleh pelembaga riset di Indonesia tidak independen, dan motif untuk melakukan sangat rasial untuk mengetes hasil suatu pesanan, yakni berupa metodologi representative dan hasil risetnya akal sistem,” kata Gun Gun yang juga Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute ini.
Lembaga Survei Menjamur
Belakangan banyak lembaga survei yang dinilai tidak transparan. Survei itu tidak memunculkan akuntabilitas data-data yang dihasilkan, seperti terang-terangan memberikan data mentahnya.
“Sepengatahuan saya, selama ini tidak ada lembaga survei yang mau memberikan data mentahnya kepada masyarakat,” jelas Philips J. Vermote pengamat dari CSIS.
Padahal menurutnya, data mentah itu penting dibuka untuk diketahui masyarakat. Dengan demikian, melalui data mentah itu, publik bisa melakukan kajian lagi dengan data yang sama dari hasil survei yang dilakukan.
Perlu dibukanya data mentah, juga untuk melakukan kebenaran, memperbaiki kemungkinan ada kesalahan-kesalahan metodologis.
Sementara, lembaga survei itu sendiri menjamur pertama kali di Indonesia lepas pemerintahan orde baru. Demam survei mulai terasa saat reformasi bergulir. Waktu itu Pemilu 1999.
Seperti yang ditulis oleh Burhanuddin Muhtadi, Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) dikutip situs resmi lsi.or.id dari opini Jurnal Nasional, waktu itu baru lima lembaga survei yang melakukan polling, yakni Resource Productivity Center (RPC), International Foundation for Election Systems (IFES), LP3ES, Litbang Harian Kompas, dan KPP-Lab Politik UI.
Menariknya, kemenangan PDIP dalam pemilu 1999 dengan kecenderungan pada variabel sociological theory ternyata sudah diprediksi melalui survei yang memakai metodologi penelitian yang sahih.
Sukses di 1999, survei kembali marak menjelang pemilu 2004, meski ‘pemain’ masih sedikit.
Selain kelima lembaga yang sudah beroperasi pada pemilu 1999, muncullah Lembaga Survei Indonesia (LSI), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS), Danareksa Research Institute (DRI) dll.
Di Pemilu 2004, baik pada pemilihan legislatif, pilpres putaran pertama dan kedua, LSI tampil sebagai ‘pemenang’ terbukti akurasi dan presisinya yang lebih baik dibanding lembaga-lembaga lain.
Pemilu 2009 malah ditandai oleh menjamurnya lembaga-lembaga survei. Tak kurang 22 lembaga yang tergabung di Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI). Belum lagi yang tergabung di Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI). Pada pemilu legislatif 2009, kembali prediksi survei LSI yang mengunggulkan Partai Demokrat sejak survei bulan Desember 2008, terbukti kebenarannya.
Saat itu, LSI dituding “melacurkan” diri karena pada saat bersamaan banyak lembaga survei yang memprediksi PDIP atau Golkar sebagai pemenang. Memang, dari sisi presisi, survei terakhir LSI yang dirilis menjelang Pileg agak kurang baik. Padahal prediksi survei-survei LSI sebelumnya kisaran Demokrat di antara 19-22%.
Berbeda jika pada masa Orba, survei tak mendapatkan persemaian subur. Ada dua alasan. Pertama, survei dianggap rezim bagian dari insubordinasi, bahkan subversi terhadap kekuasaan.
Alasan kedua yang pasti membatalkan keinginan melakukan survei adalah semua pemilu yang terselenggara pada masa rezim Orba termasuk kategori non-demokratis. Asas partisipasi dilikuidasi dengan mobilisasi, parsialitas birokrasi, represi aparat, dan kemenangan Golkar sebagai the ruling party sudah pasti bisa ditebak, bahkan sebelum pemilu dimulai.
Pilkada Jakarta dan Ilusi Kesejahteraan
Permasalahan Jakarta begitu kompleks. Jurang antara si kaya dan si miskin terlihat semakin jelas. Sementara hari ini, Jakarta dihadapkan dengan hiruk pikuk Pemilukada atau Pilgub DKI. Mampukah Pilgub DKI menjawab tentang kesejahteraan yang sudah dirindukan oleh sebagian masyarakat miskin kota Jakarta atau ianya hanya menjadi ilusi dari manisnya janji-janji politik pasangan calon yang bertarung pada Pilgub DKI.
Melihat dari aspek historis, lahirnya pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung merupakan koreksi terhadap pelaksanaan Pilkada melalui perwakilan oleh DPRD sebagaimana yang pernah diamanatkan Undang-undang No 22 Tahun 1999. Namun, seiring perjalanan pada akhirnya semakin kentara dengan implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008.
Berpijak pada peraturan atau perundang-undangan Pilkada pun digelar secara langsung di Indonesia mulai Juni 2005. Ketika Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dipimpin oleh Moh Ma’ruf. Pada tahun 2005 ini, berdasarkan sumber yang diekspose Depdagri Pilkada telah dilaksanakan di 226 daerah, 197 kabupaten, 36 kota dan 179 propinsi yang diawali Pilkada di Kutai Negara, Kalimantan Timur dan ditutup Pilkada di Kabupaten Tapanuli Tengah.
Seiring perjalanan dan pelaksanaan Pilkada dan proses evaluasi yang dilakukan, ternyata Pilkada yang esensinya melahirkan pemimpin yang kuat ditingkat lokal dan diharapkan mampu memberikan efek peningkatan kesejahteraan ternyata belum mampu membuktikan kedua hal itu kecuali hanya dibeberapa daerah tertentu saja. Pilkada ternyata melahirkan pemimpin-pemimpin lokal yang pragmatis dan membangun dinasti korup. Esensi kesejahteraan masyarakat hingga saat ini seolah-olah hanya menjadi mimpi di siang bolong.
Wajar kemudian, muncul wacana untuk mengembalikan Pilkada langsung ini kepada DPRD khususnya untuk kepala daerah tingkat I atau propinsi. Bagi penulis, ini merupakan suatu wacana kemunduran demokrasi lokal. Seharusnya, kita harus mencari penyakit penyelenggaraan Pilkada dan kemudian membenahinya menjadi sebuah penyelenggaraan yang lebih mendekat pada titik kesempurnaan bukan kemudian mengembalikan ke format awal.
Mencari Akar Masalah
Menurut Leo Agustino (2009: 121) dalam bukunya, “Pilkada dan Dinamika Politik Lokal”. Ada sebelas permasalahan yang menyelimuti Pemilukada. Pertama, tidak akuratnya data pemilih. Masalah data pemilih merupakan masalah yang mendasar dan hampir seluruh Pemilukada mengalami ketidakakuratan data pemilih dan pada sebagian daerah menimbulkan gelombang protes.
Kedua, persyaratan calon yang tidak lengkap. Dalam memenuhi persyaratan calon, terutama yang menyangkut ijazah sering tidak memenuhi persyaratan, seperti ijazah palsu, tidak punya ijazah atau surat keterangan hilang dan persamaan status ijazah setingkat SLTA. Kurang telitinya KPUD dalam melakukan verifikasi berkas administrasi calon dan adanya pengaduan masyarakat terhadap dugaan ijazah palsu atau pernah dijatuhi hukuman yang sering kurang mendapat tanggapan.
Ketiga, pengusulan pasangan calon dari partai politik. Berbagai kejadian di daerah, permasalahan internal Parpol dalam menentukan pasangan calon membuat pelaksanaan Pemilukada menjadi terhambat. Ada parpol yang memiliki pengurus kembar, ada yang proses seleksi calon tidak transparan sehingga menimbulkan protes pengurus dan ada intervensi dari pengurus pusat ke daerah. Dualisme dukungan ini juga terkadang sempat membuat Pilkada akhirnya diikuti satu pasang calon dan membuat pelaksanaan Pemilukada tertunda.
Keempat, KPUD yang tidak netral. Faktor kedekatan dan kekerabatan antara penyelenggara Pilkada dan pasangan calon memengaruhi tingkat kenetralan penyelenggara. Selain daripada itu yang sangat dominan kekuasaan penyelenggara yang begitu kuat tanpa dapat dikoreksi oleh instansi manapun maupun pengadilan. Kelima, Panwas Pemilukada terlambat dibentuk. Keenam, money politics atau politik uang. Ketujuh, dana kampanye yang tidak transparan. Kedelapan, mencuri start kampanye. Kesembilan, dukungan PNS yang tidak netral. Dalam berbagai kampanya masih ditemukan PNS yang memihak salah satu pasangan calon dalam banyak praktek terjadi pemberian dukungan kepada kepala daerah yang mengikuti kembali Pilkada (incumbent). Kesepuluh, pelanggaran kampanye dan terakhir atau kesebelas intervensi DPRD.
Masalah ini pada umumnya terjadi apabila DPRD tidak menyetujui pasangan calon kepala daerah yang terpilih dengan berbagai alasan, sehingga berkas hasil pemilihan yang dikirim oleh KPUD tidak diteruskan kepada Gubernur atau Menteri Dalam Negeri, sehingga proses pengesahan kepala daerah menjadi berlarut-larut maupun DPRD tidak mau melakukan siding paripurna istimewa seperti yang terjadi pada pelantikan kepala daerah Kabupaten Boalemo, Gorontalo dan Kabupaten Aceh Tenggara, NAD.
Dengan demikian, dari permasalahan di atas perlu dicarikan solusi untuk merajut kembali simpul-simpul permasalahan Pilkada yang kusut. Tentu ini bukanlah sesuatu hal yang mudah, tapi memang bisa dilakukan jika Mendagri dengan staff-staffnya punya keinginan kuat untuk memperbaikinya dengan melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi untuk melakukan riset atau penelitian terkait permasalahan ini. Namun, secara sederhana penulis barangkali yang diperlukan Mendagri adalah memperbaiki dan membenahi peraturan-peraturan yang menyebabkan beberapa konflik di atas.
Ilusi Kesejahteraan
Semakin baik kualitas penyelenggaraan Pilkada penulis pikir akan melahirkan pemimpin yang kuat dan tentunya akan berefek pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Nah inilah yang menjadi harapan kita semua, namun muncul pertanyaan kemudian, Pilkada yang bagaimanakah yang akan melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat? Menjawab pertanyaan ini penulis akan mencoba menjawabnya melalui pendekatan empat elemen penting dalam Pilkada yakni KPUD, Panwas, partai politik dan pasangan calon serta masyarakat yang memiliki hak pilih.
Pertama, KPUD sebagai penyelenggara Pilkada. Melihat perannya yang begitu besar dalam Pilkada diharapkan KPUD mampu memperlihatkan independensinya dan netralitasnya. Salain itu, diharapkan juga KPUD mampu menjalankan amanah dan tugasnya dengan baik. Beberapa kasus di daerah, terkesan KPUD memihak kepada salah satu pasangan calon dan terkadang juga berat sebelah dalam memberikan perlakuan kepada masing-masing pasangan calon. Jadi, memang bicara kualitas penyelenggaraan Pilkada, KPUD punya peranan yang cukup penting dalam menciptakan kompetisi politik yang sehat.
Kedua, Panwas. Peran Panwas kerap kali hanya sebagai simbol seolah-olah penyelenggaraan Pilkada sudah diawasi dengan sempurna dan acapkali laporan-laporan dari Panwas juga relatif tidak didengar karena memang ada aturan-aturan yang melemahkan fungsi Panwas dan pembentukannya juga terkadang terlambat. Sebagaimana yang dikutip Leo Agustino (2009: 133) Pasal 7 Undang-undang No. 32 tahun 2004, Panwas Pilkada dibentuk oleh dan bertanggungjawab serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada DPRD.
Secara lebih rinci ketentuan ini juga tertuang dalam PP No. 6 tahun 2005 Pasal 104 ayat (2). Menurut pasal ini, DPRD lah yang membentuk Panwas Pilkada sehingga kemudian memunculkan dilema tersendiri dan terkesan Panwas Pilkada jauh dari kesan independent, sehingga keberadaannya membuat nyaris tak bertaji. Anggaplah memang ini suatu takdir yang harus dilakoni dalam rangka memenuhi standari demokrasi yang prosedural, tapi ke depan memang hal ini harus diperbaiki.
Ketiga, pasangan calon dan partai politik. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kita membutuhkan pasangan calon pemimpin yang kuat. Kuat dari berbagai sisi baik politik maupun ekonomi. Pasangan calon harus bermental entrepreneurship dan memiliki pengalaman yang cukup untuk mengatur birokrasi yang merupakan roda yang menjalankan pemerintahan di daerah. Ini sangat penting, tapi ini juga sangat tergantung dengan peran partai politik, selama ini partai politik kurang mampu memaksimalkan perannya sebagai wadah pendidikan politik bagi masyarakat atau kadernya.
Terbukti, sebagian besar partai politik lebih menjagokan tokoh-tokoh populer bahkan artis untuk diusung menjadi bakal calon kepala daerah dibandingkan kader sendiri. Inilah titik kelemahan, mesin partai tidak berjalan begitu efektif. Figuritas terkadang menjadi faktor penentu yang menentukan bakal calon kepala daerah bisa menang atau tidak dalam kompetisi. Ke depan barangkali partai politik perlu mengedepankan kualitas pasangan calon dan bisa lebih menghidupkan mesin partainya.
Keempat, masyarakat pemilih. Nah, masyarakat yang sudah memiliki hak pilih juga harus cerdas dalam menyikapi siapa bakal calon yang akan mereka pilih. Mereka harus benar-benar kenal dengan siapa bakal calon yang akan mereka pilih kelak, tidak hanya sekedar populiritas di media tapi tahu persis apa yang akan dilakukan bakal calon walikota yang mereka pilih, seandainya terpilih menjadi kepala daerah kelak. Kecerdasan masyarakat pemilih ini juga bisa dilihat bagaimana mereka menyikapi politik uang pasangan calon.
Sebuah fenomena yang cukup menarik, saat ini pasangan calon yang memberikan uang tidak menjadi sebuah jaminan untuk menang karena terkadang uangnya saja diambil, tapi soal pilihan ternyata tidak bisa dipaksakan. Nah, kekuatan kecerdasan pemilih ini bisa juga mendorong lahirnya kepemimpinan yang kuat yang lebih memprioritaskan rakyat dalam setiap pengambilan keputusan atau kebijakannya. Setiap elemen di atas memang harus saling dikuatkan, tidak bisa tidak. Jika tidak Pilkada yang diharapkan akan melahirkan kepemimpinan yang kuat dan kesejahteraan hanyalah sebuah khayalan atau ilusi masyarakat pemimpi. Semoga kita memahimanya!
Anas Semakin Terpojok
Rabu, 13 Juni 2012 – 15:21 wib
Kuatnya opini kasus Hambalang dikaitkan dengan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum membuat sejumlah pendiri dan deklator Partai Demokrat miris. Mereka rapatkan barisan agar Demokrat bisa kembali bersih seperti saat memenangkan Pemilu 2009 lalu. Mereka membentuk forum agar Demokrat kembali berjaya. Benarkah? Ataukah hanya upaya menggulingkan Anas?
Anas Urbaningrum yang baru masuk Partai Demokrat pada 2004 lalu, langsung mengkilap karirnya di Demokrat usai menduduki jabatan Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Partai Demokrat. Mantan Ketua Umum HMI itu langsung mencalonkan diri dalam pemilihan ketua umum Demokrat pada 2010 silam. Anas pun terpilih sebagai ketua umum Demokrat. Dengan jeda “pengabdian” yang masih singkat, tentu wajar jika terpilihnya Anas membuat sejumlah aktivis senior partai berlambang Mercy itu kebakaran janggut. Anas memang sempat meredam gejolak dengan menunjuk Edhie Baskoro sebagai sekjen partai.
Namun, perasaan tidak puas masih terbenam di hati orang-orang yang merasa Anas masih belum layak duduk di kursi singgasana. Tahap awal, kelompok yang kurang puas dengan Anas mengehembuskan kabar kalau ada hubungan yang tidak harmonis antara Anas dengan SBY. Kabar itupun akhirnya dibantah.
Upaya menggoyang kursi Anas tidak berhenti sampai di situ. Terbongkarnya kasus Nazaruddin yang membuat gempa politik di tubuh Partai Demokrat, dijadikan peluru bagi kubu yang berseberangan untuk menembak Anas. Posisi awal Anas yang diam, sempat membuat dia terpojok. Sampai akhirnya SBY meminta agar Anas berbicara dan membantah beberapa tudingan yang digulirkan Nazaruddin. Seperti diketahui, salah satu isu yang digulirkan Nazar adalah adanya money politics ketika pemilihan ketum Demokrat yang dimenangkan Anas.
Pertemuan di Cikeas pada Selasa 12 Juni malam, bisa menjadi puncak dari sebuah gerakan anti-Anas yang bergulir sejak pria berkacamata itu terpilih menjadi ketua umum Partai Demokrat. SBY memanggil para pimpinan DPD Partai Demokrat dan ironinya tanpa dihadiri Anas Urbaningrum. Dalam pertemuan tersebut SBY mengorek informasi dari para pemimpin DPD terutama tentang keloyalan terhadap partai. Bisa jadi juga masuk pertanyaan pergantian ketua umum, meski itu dibantah Hayono Isman. Dia membantah bahwa pertemuan antara Ketua DPD dengan SBY membicarakan tentang evaluasi Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum.
Selain itu, Hayono juga membantah adanya isu penggulingan Anas dari kursi Ketua Umum Parrtai Demokrat, termasuk isu adanya Kongres Luar Biasa (KLB). Menurut dia pertemuan tersebut hanya evaluasi biasa yang tidak perlu diartikan lain. Meski ada juga pernyataan berbeda keluar dari petinggi Demokrat yang lain.
Apapun makna pertemuan para sesepuh dan pendiri Demokrat, yang jelas pertemuan itu tanpa mengundang ketua umum yang memiliki posisi strategis di partai. Rasanya Anas pun harus ingat istilah yang menyebutkan kalau sesuatu yang dimulai dengan cara tidak baik, maka akhirnya pun akan tidak baik.
Wa Ode Sebut Ada Jatah untuk Marzuki Alie Rp300 Miliar
Rabu, 13 Juni 2012 14:56 wib
Wa Ode Nurhayati (Foto: Dok Okezone)
JAKARTA – Terdakwa suap Dana Penyesuaian Infrasktruktur Daerah (DPID), Wa Ode Nurhayati, menyebut sejumlah petinggi DPR ikut menerima jatah hingga ratusan miliar dari pembahasan dareh-daerah penerima DPID.
Menurut Wa Ode, jatah mereka itu tidak diperoleh sesuai mekanisme konstitusional yang ada di Gedung Parlemen. “Itu data dari Saudara Nando. Bukan dari Wa Ode,” kata Wa Ode di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Rabu (13/6/2012).
Nando diketahui sebagai Kepala Sub-bagian Rapat Sekretariat Badan Anggaran DPR RI. Menurut Wa Ode, Ketua DPR, Marzuki Alie menerima jatah Rp300 miliar. Selain itu pimpinan-pimpinan DPR yang menjadi wakil Marzuki menerima jatah masing-masing Rp250 miliar.
Wa Ode menambahkan, masing-masing pimpinan Banggar juga memperoleh jatah sebesar yang diterima pimpinan-pimpinan DPR tersebut. “Nando sebutkan bahwa kode K memiliki jatah Rp300 miliar, Rp250 miliar per wakil ketua, dan pimpinan Banggar,” terangnya.
Di Pengadilan Tipikor, Wa Ode didakwa menerima suap Rp6,25 miliar akibat memuluskan tiga kabupaten Nangroe Aceh Darussalam menerima alokasi DPID, Aceh Besar, Bener Meriah, dan Pidie Jaya.
Jaksa I Kadek Wiradana menyebut uang ratusan miliar diperoleh Wa Ode dari pengusaha Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq, Saul Paulus David Nelwan alias Paul Nelwan dan Abraham Noch Mambu. Uang tersebut diperoleh melalui Haris Surahman.
“Tujuannya memasukkan Kabupaten Pidie Jaya, Aceh Besar, Bener Meriah dan Minahasa sebagai penerima alokasi DPID tahun 2011 sebesar Rp7,7 triliun,” kata Jaksa I Kadek Wiradana di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan.
Mourinho Sambangi Jakarta
Rabu, 13 Juni 2012 15:24 wib
Jose Mourinho. (Foto: Reuters)
Berdasarkan informasi yang beredar, The Special One akan bermalam di Hotel Borobudur Jakarta. Hal itu dibenarkan oleh Director of Communication Hotel Borobudur Jakarta, Fransiska Kansil.
“Ya, benar (Mourinho akan datang), tapi belum bisa diperkirakan tiba pukul berapa,” ujar Fransiska ketika dihubungi Okezone, Rabu (13/6/2012).
Beberapa kegiatan yang akan dilakukan oleh Mourinho selama di Indonesia tampaknya akan berlangsung secara tertutup. Bahkan, Fransiska mengatakan, tidak semua media massa bisa meliput kegiatan The Special One di Jakarta.
“Tapi, maaf, dalam acara ini hanya media-media terpilih saja yang diperbolehkan untuk meliput dan kami sudah mengirim mereka untuk meliput,” ujarnya.
Ferdinand Belum Pikirkan Pensiun dari Timnas Inggris
Sabtu, 9 Juni 2012 14:14 wib
Rio Ferdinand (foto: Getty Images)
Ferdinand memulai kariernya membela Timnas Inggris sejak 1997 silam. Dia merupakan salah satu pemain yang sering tampil membela Timnas Inggris. Tercatat hingga saat ini dia telah menciptakan 81 caps.
Tapi sayang bek 33 tahun itu tidak bisa melanjutkan catatan capsnya, kala Inggris berjuang di Euro 2012. Meski begitu Ferdinand mengaku belum mau pensiun baik di tingkat klub, maupun di dunia sepakbola internasional.
“Saya selalu bilang saya tidak akan pensiun membela Timnas Inggris sampai saya berhenti bermain. Saya akan tetap bermain,” ujar Ferdinand, seperti dilansir ESPN, Sabtu (9/6/2012).
“Saya sangat berharap bahwa saya akan mencapai 100 caps, tetapi karena berbagai alasan itu belum terjadi, ini jelas mengecewakan tetapi saya menunjukkan bahwa tidak pernah bisa percaya begitu saja, karena ini adalah sepakbola,” sambungnya.
Meski mengaku kecewa dan sedikit terluka, bukan berarti mantan pemain Leeds United ini cuek terhadap timnya. Bagaimanapun juga dia terap mendukung dan menonton setiap perjuangan Wayne Rooney cs di kancah Euro 2012 ini.
“Saya akan menonton Inggris dan mendukung mereka, karena mereka bermain untuk negara saya dan saya ingin mereka bermain dengan baik,” tuntas bek The Reds Devils itu.
Sneijder Hardik Ego Punggawa De Oranje
Rabu, 13 Juni 2012 17:33 wib
Wesley Sneijder kecam sikap dan ego para rekannya (Foto: Reuters)
Dampak negatif ego masing-masing itu pun menitis ke atmosfer ruang ganti. middenvelder (gelandang) Rafael van der Vaart adalah salah satu contohnya. Pemain acap disapa VdV itu mengumbar rasa frustrasinya akibat kerap dibangkucadangkan.
Begitupun dengan aanvaller (penyerang) Klaas-Jan Huntelaar. Bomber yang dijuluki The Hunter itu menyiratkan rona wajah kesal karena hanya dijadikan pelapis Robin van Persie di lini gempur De Oranje.
Itu belum seberapa. Koets Bert van Marwijk disinyalir juga masih didera tekanan protes dari sejumlah pemain Belanda, terkait peran menantunya, Mark van Bommel, di tim Euro 2012
Tak pelak, keadaan The Clockwork Orange dirasa menyedihkan bagi Sneijder. Terlebih, dini hari nanti Belanda sudah harus kembali memperjuangkan harapan mereka untuk lolos dari Grup B. Lawan yang dihadapi pun bukan sembarangan. Mereka harus berjibaku dengan musuh klasik mereka, Jerman dengan beban kemenangan menjadi harga mati.
“Sekarang waktunya tim kami melepaskan ego yang menyedihkan ini. Jika seseorang membuat kekacauan (di tim), saya akan pasang badan di hadapan mereka…sekarang!,” hardiknya.
Motor serangan Belanda itu ingin timnya menyatukan visi dan tekad. Kondisi tim yang seperti ini, sempat dianggap butuh pertolongan psikologis. Tapi soal itu, Sneijder merasa tak perlu adanya konseling.
Sneijder menyatakan para kompatriotnya sudah cukup dewasa untuk saling pengertian dan menyuarakan kepentingan tanpa mengenyampingkan tanggung jawab masing-masing.
“Kami tak butuh psikolog di tim ini, kami semua pria yang sudah dewasa. Mereka yang merasa punya masalah dengan pemain lain atau pelatih, harus langsung bicara face-to-face. Hanya itu psikologi yang kami butuhkan,” seru Sneijder lagi.
“Kami harus menyudahi kehidupan di pulau kecil ini. Kami harus menatap tujuan yang sama. Pilihannya hanya bersatu atau bersiap menghadapi konsekuensinya,” tandas pemain yang lahir dari keluarga sepakbola tersebut.
Jelang Denmark vs Portugal
“Denmark Tak Perlu Takut Siapapun”
Rabu, 13 Juni 2012 16:56 wib
Michael Krohn-Dehli (Foto: Getty Images)
Sukses meraih poin sempurna atas Belanda di laga perdana, sontak menjulangkan spirit dan kepercayaan diri mantan pilar Ajax Amsterdam ini. Baginya, kini Denmark tak perlu takut pada siapapun, terlebih Cristiano Ronaldo cs di laga kedua mereka.
Lima pertemuan terakhir Denmark vs Portugal, menghasilkan kecenderungan keunggulan kubu tim Dinamit. Tiga kali Denmark menekuk Portugal, sementara dua lainnya berakhir imbang. Catatan tersebut menjadi acuan Krohn-Dehli untuk memilih tak merendah di hadapan Portugal.
”Catatan bagus kami atas mereka memberikan perasaan positif akan kemenangan. Mereka tim yang bagus, tapi kami yakin mampu merebut hasil yang kami inginkan,” papar pemain berusia 29 tahun tersebut.
”Kami mendapati start yang bagus di turnamen ini dan kami tak perlu lagi takut akan siapapun,” sambungnya, sebagaimana dikutip The World Game, Rabu (13/6/2012).
Selama ini, Denmark acap dipandang tim medioker di kawasan Eropa. Tapi Krohn-Dehli ingin membuktikan bahwa selain mereka selalu menghormati tim lain, tim lain juga pantas respek pada Denmark.
“Kami harus selalu respek kepada tiap lawan, tapi kami juga menunjukkan bahwa mereka juga wajib respek terhadap kami,” tutup punggawa Brøndby IF tersebut.